Memastikan kesucian pakaian ketika mengerjakan shalat adalah keniscayaan. Terlebih lagi, kesucian menjadi salah satu syarat sah shalat baik suci jasmani maupun pakaian. Mensucikan jasmani dengan cara mandi bagi orang junub (hadats besar) dan berwudhu untuk hadats kecil. Sementara mensucikan pakaian ialah dengan cara mencuci dan membersihkannya dari setiap najis yang menempel padanya.
Namun perlu diketahui bahwa belum tentu setiap kotoran adalah najis. Misalnya, baju terkena tanah atau keringat, menurut lahirnya baju terkena tanah itu disebut kotor. Tetapi ia tidak dinamakan najis dan sah dibawa shalat sesuai pandangan syariat.
Terdapat perbedaan ulama bila tanah tersebut bercampur najis terutama bagi yang menggunakan celana panjang. Mari kita simak bagaimana penjelasan Wahbah Az-Zuhayli terkait masalah ini dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu.
تكرار المشي في الثوب الطويل الذي يمس الأرض النجسة والطاهرة: يطهر الثوب، لأن الأرض يطهر بعضها بعضاً، بدليل حديث أم سلمة: أنها قالت: «إني امرأة أطيل ذيلي، أمشي في المكان القذر، فقال لها رسول الله صلّى الله عليه وسلم: يطهره ما بعده» ويتفق المالكية والحنابلة مع الحنفية في ذلك، وأقره الشافعي بما جرى على يابس، وقيده الحنابلة بيسير النجاسة، وإلا وجب غسله
Artinya, “Apabila pejalan kaki menggunakan celana panjang dan ujungnya menjulur ke tanah yang suci dan najis, maka pakaiannya masih dianggap suci, karena tanah dapat mensucikan sebagiannya. Dalilnya ialah hadits Ummu Salamah RA yang pernah bertanya kepada Nabi, ‘Ujung celana saya panjang (menjulur ke tanah) dan saya pernah melewati tempat yang kotor.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kotoran itu akan disucikan oleh tanah yang bersih setelahnya.’ Ulama madzhab Maliki, Hanbali, dan Hanafiyah sepakat dengan hal ini. Sementara As-Syafi’i membatasi makna hadis ini pada tanah yang kering saja. Madzhab Hanbali mensyaratkan najisnya sedikit dan mesti dicuci bila banyak.”
Bagi siapa yang suka menggunakan celana panjang dan ujung celananya kotor karena tanah, pendapat-pendapat di atas dapat dijadikan pertimbangan.
Seandainya tidak memiliki sarung untuk shalat atau tidak ada lagi celana bersih yang dapat dijadikan gantinya, pendapat madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali bisa dijadikan dalil.
Kendati demikian, selagi masih mungkin menggunakan sarung atau celana bersih, gunakanlah dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar